Minggu, 03 April 2011

Nelayan Tradisional Butuh Intervensi

MASA paceklik atau musim angin besar yang membuat nelayan tradisional tidak bisa melaut biasanya hanya berlangsung tiga bulan.

Celakanya, musim ini masa paceklik tersebut molor dari kebiasaan. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari satu tahun lamanya. Alhasil, 3-5 juta nelayan tradisional terjerembab ke lubang kemiskinan. Daya belinya pun melorot.

Ketua Departemen Organisasi dan Kader Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Indon Cahyono mengibaratkan kondisi mereka saat ini sudah lampu merah. "Mereka membutuhkan intervensi kebijakan. Misalnya, pemerintah memberikan bantuan," ujarnya, pekan lalu.

Indon membenarkan pemerintah memang mempunyai program modernisasi alat tangkap dengan cara memberikan 1.000 kapal modem sepanjangperiode 2010-2014. Namun, program itu hanya menyasar segelintir nelayan.

"Jika satu kelompok nelayan yang mengelola, katakanlah jumlah mereka 15 orang, berarti sumbangan 1.000 kapal tersebut hanya menyasar 15 ribu nelayan," jelasnya.

Padahal di negeri kepulauan ini, jumlah penduduk yang berprofesi sebagai nelayan mencapai 3-5 juta jiwa. Dengan kondisi yang menekan, permasalahan paceklik nelayan sanggup memunculkan permasalahan sosial pelik.

Berdasarkan data produksi ikan di Cilacap, salah satu pesisir kaya pelayan di Jawa, tangkapan ikan nelayan merosot dalam tiga tahun terakhir.

Jika pada 2008 jumlah produksi ikan masih menembus 5.311,4 ton pada tahun berikut merosot menjadi 3.667,2 ton. Pada 2010, total produksi ikannya hanya 2.123,3 ton. Selama periode tiga tahun tersebut,angka kehilangan produksi sampai setengah miliar rupiah.

Paceklik musim ini diperkirakan tidak akan menjadi hal pertama. Sebab jauh-jauh hari peneliti di berbagai pertemuan yang membahas isu kelautan memperingatkan krisis kelautan dan dampak perubahan iklim sudah di depan mata.

"Itu sebabnya, kondisi sekarang ini sudah masalah perut dan penyelesaiannya harus dengan program jangka pendek, misalnya pemberian bantuan pangan," kata dia.

Baru setelah itu, pemerintah mulai memikirkan program jangka menengah dan panjang bagi, nelayan. Bisa alternatif usaha lainnya seperti budi daya ikan perairan darat, sedangkan untuk istri nelayan diberikan pelatihan seperti pembuatan kerajinan sehingga mereka juga dapat mengembangkan usaha tanpa harus menggantungkan hidup dari hasil tangkapan. (LD/N-3)

SIARAN PERS BERSAMA Tentang "23 TAHUN PEMERINTAH SENGAJA MEMELlHARA KONFLIK, NELAYAN RAWAI BENGKALIS DIKORBANKAN"




Jakarta, 17/06/2006---Sengketa wi1ayah tangkap (fishing grotmd) antara nelayan tradisional rawai dan pengusaha jaring batu di kawasan perairan Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau, kembali terjadi pada Kamis (15/6) dengan menimbulkan korban. Setidaknya hingga hari ini pukul 05.00 WIB, tercatat 10 orang nelayan rawai luka-luka dan berikut 1 buah pompong rawai ikut dibakar oleh kelompok jaring batu/jaring kurau.

Sengketa ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Dalam catatan Tim Pembela Nelayan Rawai-Bengkalis, setidaknya kasus ini sudah berlangsung 23 tahun lamanya (1983-2006). Sementara, Solidaritas Nelayan Kecamatan Bantan (SNKB) Bengkalis, menyatakan bahwa kasus ini terjadi akibat tidak adanya kemauan serius pihak pemerintah dan aparat terkait untuk mengambil langkah-langkah penting terhadap penyelesaian kasus ini secara menyeluruh dan berkeadilan bagi kepentingan nelayan kecil.

Wa1aupun sejak tahun 2003, Bupati Bengkalis, H. Syamsurizal, telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 52/2003 tertanggal 06 Januari 2003, yang intinya melarang beroperasinya alat tangkap jenis jaring kurau di wilayah 0-4 Mil1aut, faktanya hingga saat ini operasi jaring kurau masih saja terus terjadi dengan pembiaran (by ommision) aparat keamanan dan pemerintah terkait. Bahkan, rata-rata bentrokan antar nelayan, justru banyak terjadi di wilayah yang seharusnya dilarang bagi operasi jaring batu tersebut. Penegakan hukum (law enforcement) tak dilakukan secara tegas dalam kasus ini.

Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak:

Gubemur Riau sebagai wakil pemerintah pusat di daerah segera mengambil langkah-langah penting dan mendesak untuk penyelesaian sengketa wilayah tangkap ini secara komprehensif. Tindakan ini dilakukan dengan tetap mengedepankan azas kelestarian dan keberlanjutan Sumber Daya Perikanan laut;
Kapolda Riau dan jajarannya untuk menghindari tindakan kriminalisasi bagi nelayan tradisional yang hendak mempertahankan kelestarian kawasan pesisir dan lautnya dari ancaman kerusakan akibat operasi jaring batu dan alat tangkap merusak lainnya. Berbagai kasus kekerasan dan bentrokan antar nelayan yang telah terjadi selama ini, diakibatkan oleh lemahnya perangkat peraturan pendukung beserta institusi penegaknya, guna mendukung upaya nelayan tradisional rawai menjaga dan mempertahankan wilayah tangkapan dan sumber-sumber kehidupan di perairan Kabupaten Bengkalis;
DPRD Riau dan DPRD Bengkalis agar pro aktif dalam upaya mediasi ke arah penyelesaian sengketa ini, yang lebih adil bagi nelayan tradisional. Selama ini pihak DPRD tampaknya bersifat pasif dan terkesan membiarkan ber1arut-Iarutnya sengketa ini. Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pelarangan Pengoperasian Jaring Batu di wilayah kelola nelayan rawai, yang saat ini dihentikan proses pembahasanya, seharusnya segera disahkan.

Demikian siaran pers bersama ini dibuat. Terima kasih.

SNKB (Solidaritas Nelayan Kecamatan Bantan), WALHI Riau, LBH Pekanbaru, Yayasan Laksana Samudera- Pekanbaru, KBH Riau, KONTRAS, Eksekutif Nasional WALHI, YLBHI, Jaring PELA, PBHI

Kontak Person :

Erwin Usman/ EksekutifNasional Walhi
M. Teguh Surya/ Walhi Riau
Suhelmi/ SNKB
Sinung Karto/ Kontras

Jaring Batu dibenarkan atau tidak???


Bengkalis - Konflik antara nelayan rawai dengan jaring batu di Bengkalis telah merebut korban jiwa. Pemerintah setempat menuding kelompok nelayan jaring batu ilegal. Ini sesuai dengan surat keputusan Gubernur Riau tahun 2003 yang melarang operasinya jaring batu tersebut. Penegasan itu disampaikan Kabag Humas Pembak Bengkalis, Johansyah Syahfri saat dihubungi detikcom, Jumat (16/6/2006) di Bengkalis, Riau. Menurutnya, sesuai Surat Gubernur Riau (Gubri) No 523.41/Ekbang/05.07, pada 16 Maret 2006 ditujukan ke Bupati Bengkalis, dijelaskan bahwa terhitung sejak Juni 2003, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau tidak lagi menerbitkan Surat Penangkapan Ikan (SPI) baru untuk jaring batu atau kurau. "Bila mengacu pada surat Gubri itu, sejak Juni 2003 tidak ada nelayan jaring batu yang boleh beroperasi. Bukan hanya di perairan Kabupaten Bengkalis, tetapi di seluruh perairan Riau. Berdasarkan hal itu juga, kita anggap operasinya jaring batu itu ilegal," katanya. Ungkapan itu sendiri, setelah terjadinya konflik antara kelompok jaring rawai dengan jaring batu di wilayah perairan Bengkalis. Dalam bentrok ini satu orang nelayan jaring batu tewas dan jasadnya dibuang ke laut. Hingga kini pihak kepolisian masih melakukan pencarian. Kendati Gubernur Riau melarang operasi tersebut, pihak Pemkab Bengkalis sendiri, masih memberikan peluang buat nelayan jaring batu beroperasi. Namun, kata Johan, hanya diizinkan operasi jaring batu (Buttom Gill Net) di atas 4 mil di wilayah perairan Bengkalis. "Keputusan tersebut sendiri dikeluarkan Bupati Bengkalis sebagai salah satu upaya untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan antara nelayan tradisional dengan nelayan jaring batu," jelasnya. Masih menurut Johan, belakangan berkembang isu, Bupati Bengkalis Syamsu Rizal telah mencabut keputusan dimaksud. Ini sehubungan adanya surat Mendagri melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Dirjen Bangda) menyurati gubernur dan bupati terkait dengan Keputusan No 52/2003 tersebut. Intinya keputusan pelarangan jaring batu ditinjau ulang. Mendagri sendiri tidak sepaham atas pelarangan jaring batu, karena dianggap bukan jaring pukat harimau. "Namun yang jelas pasti sampai saat ini tak ada instruksi Mendagri untuk mencabut Keputusan Bupati Bengkalis No 52/2003 tersebut. Yang ada cuma diminta untuk meninjau ulang," jelas Johan. Surat Mendagri itu, lanjut Johan, meminta agar penyiapan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bengkalis sebagai instrumen pengendalian pengoperasian jaring batu memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Artinya keputusan kita tetap berlaku soal pelarangan jaring batu beroperasi di bawah 4 mil," imbuhnya. (atq/)